Kamis, 08 April 2010

Konsep – Konsep Kurikulum

Konsep pengembangan kurikulum menurut Eisner :
a.Pengembangan Proses Kognitif
Kurikulum dapat dipandang sebagai alat untuk mengembangkan intelektual anak, khususnya kemampuannya berpikir agar dapat memecahkan segala masalah yang dihadapinya. Yang diutamakan ialah produknya. Yang harus dipentingkan ialah peningkatan cara ia berpikir, bagaimana berpikir “the how” bukan apa, “the what” yang dipikirkan. Apa yang dipikirkan biar dilupakan, asal kemampuan berpikir tetap dimiliki.
Untuk itu anak-anak perlu mendapat latihan dalam proses berpikir untuk mencapai otonomi intelektual yang memberikan kemampuan kepadanya untuk berpikir secara mandiri tentang berbagai masalah baru yang belum pernah dipelajarinya di sekolah. Orang yang terampil dalam proses berpikir akan sanggup menghadapi masa depan yang serba kompleks dan penuh rahasia yang pada saat ini sukar diramalkan.
Menurut konsep psikologi “faculty psychology” manusia memiliki sejumlah daya, seperti daya untuk mengamati, menanggap, mengingat, berpikir, dan sebagainya. Aliran ini berpendapat bahwa daya mental ini dapat dilatih, mental dapat disiplin dan digunakan dalam segala situasi.
Dalam rangka kurikulum sekolah, yang dianggap banyak memberi latihan berpikir logis sistematis ialah berhitung dan matematika, orang yang pandai matematika dengan sendirinya dianggap orang yang pandai berpikir, bukan hanya tentang soal-soal matematika melainkan juga tentang segala masalah lainnya, karena caranya berpikir tentang disiplin, artinya telah mengikuti pola-pola tertentu dalam metodenya berpikir. Hingga kini matematika masih mempunyai “pasaran tinggi” di mata banyak orang. Demikian pula halnya dengan apa yang disebut “eksakta” lainnya.
Tiap disiplin ilmu mempunyai struktur dan cara-caranya berpikir tersendiri untuk memecahkan masalah. Dengan memahami struktur disiplin cara berpikir siswa dapat disiplin sehingga ia dpat berpikir menurut cara-caranya disiplin itu. Cara – cara berpikir itu dapat ditransfer walaupun tidak pada semua bidang. Berkat latihan disiplin itu misalnya seorang dapat berpikir matematis, pedagogis, filosofis, sosiologis, ekonomis, dan sebagainya.
Ide kurikulum menurut konsep ini diterapkan dalam kurikulum IPA yang mengemukakan soal proses dan menganjurkan pendekatan proses dalam proses belajar – mengajar.

b.Kurikulum sebagai Teknologi
Kemajuan dalam teknologi menghasilkan sejumlah alat-alat termasuk elektronik yang kian lama kian banyak dimanfaatkan dalam pendidikan seperti proyektor, TV, Radio, Video, Taperecorder, Film, Komputer, dan sebagainya. Alat – alat ini lazim disebut “hardware” atau perangkat keras dalam pendidikan. Banyaknya alat-alat serupa itu yang digunakan menimbulkan istilah teknologi pendidikan.
Akan tetapi ada lagi aspek lain dalam teknologi pendidikan, yakni apa yang disebut “software” yang mempengaruhi teknik atau cara menagajar dan belajar. Selama ini mengajar dianggap masih terlampau banyak bercorak seni dan sangat ditentukan oleh keterampilan dan kepribadian masing-masing guru. Apa yang dilakukan dengan sukse oleh seorang guru belum tentu dapat diulangi atau ditiru guru lain dengan hasil yang sama. Teknologi pendidikan berusaha agar teknik mengajar ini dapat dikuasai sepenuhnya sehingga dapat dijamin hasil yang sama lepas dari factor kepribadian guru atau murid. Teknologi pendidikan bermaksud memberikan dasar ilmiah dan empiris kepada proses belajar mengajar.
Dari segi tertentu teknologi pendidikan besar pengaruhnya dalam pengembangan kurikulum yang lebih sistematis dan empiris. Masalah tujuan mendapat perhatian yang yang lebih besar. Keberhasilan proses belajar mengajar segera diketahui untuk diperbaiki bila perlu, sehingga senantiasa dapat dinilai efektivitas kurikulum. Selain itu teknologi pendidikan sangat menonjolkan interrelasi antara unsur-unsur atau komponen struktur kurikulum, yakni tujuan, bahan, proses belajar mengajar, dan penilaiannya.

c.Kurikulum Sebagai Aktualisasi Diri
Konsep tentang kurikulum yang mengutamakan perkembangan anak sebagai individu dalam segala aspek kerpibadiannya ini, juga dikenal sebagai kurikulum humanistic. Konsep ini dapat dipandang sebagai suatu aspek falsafah yang menekankan bahwa tugas pendidika yang utama ialah mengembangkan anak sebagai individu selain sebagai makhluk sosial. Hal ini dapat dilakukan bila dalam pendidikan dikembangkan kemampuan dan potensi anak, khususnya imaginasinya yang kreatif. Untuk itu perlu diberikan kebebasan, kemandirian, hak untuk menemukan diri serta pengembangan kemampuan fisik dan emosionalnya, jadi perkembangan anak itu sebagai keseluruhan.
Kurikulumnya sering berdasarkan konsepsi “child-centered” yang mengutamakan ekspresi diri secara kreatif, individualitas, aktivitas pertumbuhan “dari dalam”, bebas dari paksaan dari luar. Kurikulum ini memelihara keutuhan anak sebagai “keseluruhan”. Khususnya mengenai kreativitas dan spontanitasnya. Konsep kurikulum yang humanistic ini memindahkan titik berat pendidikan dari bahan pelajaran kepada anak sebagai individu keseluruhan.
Ciri-ciri kurikulum humanistik ini adalah sebagai berikut :
a. Partisipasi, artinya anak turut serta merundingkan apa yang akan dipelajarinya. Jadi tidak
ada paksaan secara otoriter dan unilateral.
b. Integrasi, artinya ada integrasi, dan integrasi antara pikiran, perasaan, dan tindakan, atau
antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
c. Relevansi, artinya bahan pelajaran berhubungan erat dengan kebutuhan pokok dan
kehidupan anak ditinjau dari segi emosional dan intelektual.
d. Diri anak, merupakan suatu pokok yang perlu dipelajari agar anak mengenal dirinya.
e. Tujuan, tujuan sosialnya ialah mengembangkan anak sebagai keseluruhan dalam
masyarakat manusiawi.
Kurikulum humanistik memandang aktualisasi diri sebagai suatu kebutuhan asasi. Tiap anak mempunyai “self” masing-masing yang sering tak dikenal dan disadarinya, yang tersembunyi atau tertekan dan karena itu perlu dibangkitkan dan dikembangkan. Dalam proses belajar mengajar harus terdapat hubungan baik antara guru dan murid dalam suasana saling percaya, tanpa paksaan dari pihka guru. Di lain pihak kurikulum humanitistik mendapat kecaman, maka karena itu perlu dikaitkan dengan pendekatan rekonstruksi social dalam kurikulum.

d.Kurikulum sebagai Rekonstruksi Sosial
Pendidikan dapat mengubah manusia dalam pikiran, perasaan, dan perbuatannya dan karena itu dapat mempunyai peranan dalam mengubah masyarakat dan memberi corak baru kepada masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan lazim digunakan oleh pemerintahan untuk mengubah individu dan masyarakat menurut falsafah dan cita-cita baru. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan menunjukkan kepercayaan orang akan pengaruh dan kemampuan bahkan kekuasaan pendidikan.
Kurikulum sebagai rekonstruksi social mengutamakan kepentingan sosial di atas kepentingan individu. Tujuannya ialah perubahan sosial atas tanggung jawab tentang masa depan masyarakat. Tugas kurikulum demikian bukanlah sesuatu yang baru akan tetapi selalu merupakan suatu bagian dari fungsi pendidikan, karena pendidikan selalu berkaitan tujuannya dengan masa mendatang.
Sekolah biasanya dipandang sebagai “agent of social change”, badan untuk mengadakan perubahan sosial. Sekolah merupakan jembatan antara masa kini dengan masa mendatang, antara realitas masa kini dengan ideal atau cita-cita untuk masa mendatang.
e.Kurikulum sebagai Rasionalisasi Akademik
Pengetahuan senantiasa merupakan inti kurikulum sejak ada sekolah dan kurikulum merupakan inti pendidikan formal. Anak – anak dikirim ke sekolah agar mempelajari ilmu dan menguasai sejumlah pengetahuan. Pengetahuan merupakan warisan umat manusia yang ditumpuk selama berabad-abad dan masih terus akan dikembangkan selama manusia ada di dunia ini. Mempelajari ilmu berarti turut menikmati harta kekayaan umat manusia sambil meningkatkan kemampuan intelektual. Pengetahaun itu disusun oleh para ahli dalam berbagai disiplin ilmu yang dapat diajarkan di sekolah dalam bentuk mata pelajaran.
Pelaksanaan kurikulum ini ternyata tidak seperti yang diharapkan. Sebagai halnya dengan tiap inovasi kurikulum keberhasilannya selalu bergantung pada guru. Guru sendiri tidak pernah terlibat dalam penelitian, tidak menguasai metode penemuan untuk pengembangan dan memperkaya ilmu. Mereka hanya pemakai ilmu yang tersedia untuk keperluan pendidikan.
Tak dapat diharapkan mereka akan mampu membimbing siswa mengadakan penemuan karena karena mereka sendiri tidak bias. Setelah kurikulum ini beberapa tahun berjalan ternyata dalam penelitian bahwa pengetahuan dan kemampuan intelektual siswa sangat merosot dibanding dengan sepuluh tahun sebelumnya.
Masalah yang dihadapi dalam menjalankan kurikulum akademik ialah antara lain kriteria memilih disiplin ilmu yang akan diajarkan di sekolah dari sebanyak kira-kira 1000 macam disiplin atau cabang disiplin. Apakah yang dipakai sebagai criteria, apakah berdasarkan hal-hal yang terkandung dalam disiplin itu sendiri, misalnya bahwa suatu mata pelajaran harusdipelajari sebagai syarat untuk mata pelajaran lain, ataukah karena kegunaannya bagi kehidupan dalam masyarakat. (Amalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran, Cetakan ke 5. Bumi Aksara. Jakarta. 2005).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda :